KLHK Temukan beda data tutupan hutan Indonesia, dengan peta hutan dunia (GFM) tahun 2020


Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan adanya beda data tutupan hutan Indonesia, dengan peta hutan dunia (Global Forest Map – GFM) tahun 2020 yang menjadi acuan pada platform European Union Forest Observatory (EUFO).

Menyikapi hal ini, Pemerintah Indonesia akan segera mengambil langkah diplomasi guna menyinkronkan definisi dan metode dalam menghitung tutupan hutan dan deforestasi.

“Menjadi penting untuk melakukan diplomasi dan harmonisasi definisi serta metode dengan peta EUFO tersebut, agar kredibilitas Pemerintah Indonesia dalam melakukan pengelolaan hutan lestari dan mengendalikan deforestasi akan diakui dunia internasional dan memperkuat posisi tawar dalam perdagangan dunia serta kedaulatan atas pengelolaan sumber daya alam Indonesia,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam keterangan tertulis, Senin (29/4/24).

Diketahui, hasil pencermatan yang dilakukan dengan membandingkan Peta Tematik GFM dengan Peta Tematik SIMONTANA yang dimiliki KLHK menunjukkan persoalan akurasi pada GFM, seperti adanya over estimasi tutupan hutan. Dalam perhitungan GWF diketahui terdapat objek yang diidentifikasikan sebagai hutan, padahal kondisi di lapangan tidak seluruhnya hutan, tetapi berupa antara lain semak belukar, pertanian, perkebunan, penutupan lahan lainnya dan tubuh air.

Hal ini dibuktikan dengan keterangan pada gambar 1 di atas. Peta GFM menunjukkan adanya tutupan hutan pada tubuh air Danau Rawa Pening, Jawa Tengah. Contoh lainnya peta GFM menunjukkan adanya tutupan hutan pada ruas jalan di DKI Jakarta.

Tidak hanya itu, peta GFM juga menunjukkan adanya tutupan hutan padahal lahan di lokasi tersebut berupa kebun sawit seperti di Aceh Tamiang. Ada juga yang berupa lahan baku sawah. Bahkan kebun-kebun kopi rakyat di Bali dimasukkan dalam tutupan hutan pada GFM.

Siti Nurbaya menilai ini adalah fakta menggembirakan tentang tutupan hutan Indonesia. Data ini diyakini dapat menjadi modalitas diplomasi Indonesia dalam menghadapi tantangan berkembangnya tuntutan global tentang produk-produk yang tidak berasal dari lokasi yang mengalami deforestasi dan degradasi hutan. Regulasi Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR) misalnya. Regulasi ini mengatur tujuh komoditas dan turunannya yaitu daging sapi, cokelat, kopi, sawit, karet, kedelai, dan kayu.

Siti Nurbaya mengatakan, sebelumnya pihaknya telah mengambil langkah serupa dalam melakukan harmonisasi dengan Peta Global Forest Watch (GFW) yang diterbitkan oleh World Research Institute (WRI), yang dalam perkembangannya telah menuju dalam pemahaman yang sama terkait dengan tutupan hutan dan deforestasi. Harmonisasi peta GFM EUFO dengan SIMONTANA KLHK, kata dia, akan memastikan fleksibilitas penerapan EUDR secara seimbang guna menghindari hambatan perdagangan dan melindungi ekspor komoditas Indonesia ke Uni Eropa, termasuk untuk menghindari beban tambahan serta mengatasi mekanisme benchmarking yang diskriminatif.

Adapun langkah diplomasi nantinya akan diambil Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Uni Eropa di Brussels, Belgia melalui Multi-stakeholder Platform yang diadakan Komisi Uni Eropa. Di sisi lain juga akan dilakukan melalui jalur bilateral maupun multilateral.

“Pemerintah Indonesia memiliki data hutan yang lengkap sebagai modalitas diplomasi Indonesia untuk melaksanakan diplomasi dengan Uni Eropa. KLHK telah memiliki Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana) sebagai data base hutan yang detail, transparan, akurat, konsisten, dan komparabel (TACC),” terangnya.

Hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2022 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 96,0 juta hektare atau 51,2% dari total daratan yang seluas 187,5 juta hektare (Ha), di mana 92,0 % dari total luas berhutan atau 88,3 juta Ha berada di dalam kawasan hutan.

Di sisi lain, deforestasi Indonesia memiliki kecenderungan menurun sejak periode tahun 2000 sampai dengan saat ini. Berdasarkan data, deforestasi Indonesia pada tahun 2021-2022 tercatat sebesar 104,0 ribu Ha. Ini menjadi yang terendah dalam beberapa periode terakhir. Hal ini pun menunjukkan keberhasilan Pemerintah dalam menekan tingkat deforestasi secara signifikan.

Adapun rendahnya laju deforestasi dan degradasi hutan diklaim sebagai hasil dari sejumlah langkah yang dilakukan KLHK, di antaranya adalah penghentian izin baru di hutan primer dan lahan gambut yang mencakup 66 juta hektare, lalu pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan pencegahan permanen, serta penerapan FOLU Net Sink 2030 untuk mencapai komitmen NDC Indonesia. Selain itu upaya penataan dan pengendalian legalitas penggunaan kawasan hutan untuk sawit, penegakkan hukum, dan pelaksanaan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) dengan indikator termasuk pengurangan emisi karbon yang juga mencakup perusahaan sawit dan kebunnya.

Langkah KLHK Pastikan Kesesuaian Data di Lapangan

Guna memastikan kesesuaian data, KLHK melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari telah meminta seluruh Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) untuk melakukan overlay peta EUFO dengan Peta PBPH dan Peta Kerja PBPH.

Selanjutnya, PBPH diminta melakukan pengecekan lapangan dan analisis pada sejumlah area yang terdapat perbedaan data antara peta EUFO dengan kondisi dan fakta di lapangan. Hasil analisis dan ground check ini nantinya akan menjadi bahan untuk negosiasi lebih lanjut dengan Uni Eropa.

Langkah ini penting mengingat PBPH menghasilkan kayu yang merupakan salah satu komoditas yang diatur dalam EUDR. Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto mengatakan untuk komoditas kayu dan produk turunannya, RI telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang telah disetarakan sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) dan diakui dalam EUDR. Produk kayu ber-SVLK memenuhi lisensi FLEGT dan memenuhi ketentuan EUDR seperti diatur pada Article 10 butir 3 ketentuan itu.

“SVLK telah diperbarui dan dilengkapi dengan informasi geolokasi sehingga memperkuat keterlacakan kayu hingga ke titik penebangan. Informasi geolokasi diberikan dalam bentuk QR Code yang tercantum pada sertifikat SVLK yang menyertai produk kayu yang diperdagangkan,” jelas Agus.

Untuk memperkuat keterlacakan, juga dilakukan integrasi sistem informasi pemanfaatan kayu mulai dari Sistem Informasi Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan (SIPASHUT), Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Informasi Rencana Pemanfaatan Bahan Baku Pengolahan Hasil Hutan (SIRPBBPHH), hingga Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK).(primed)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *